Realitas kehidupan keberagamaan memang tidak bisa dipungkiri sangat
beragam. Ini bukan soal kesamaan dalam hal akidah, hanya saja berbeda soal furu’iyah-nya.
Namun, dalam konteks kebangsaan dan keindonesiaan memang itu bisa dimaklumi,
sebagaimana diketahui bahwa Indonesia sebagai negara yang sangat majemuk,
termasuk dalam kepercayaan beragama.
Hal ini menjadi seperti sebuah gambaran nyata bahwa sekilas kehidupan
keberagamaan pun di Indonesia akan senantiasa beragam dengan distingtifnya. Belakangan
ini, keberagaman itu seperti di-“nodai” dengan adanya kelompok yang mengataskan
Islam dengan seabrek dalil-dalil yang digunakan sebagai dasar
Islamisnya.
Memang terlalu berlebihan jika menisbatkan kelompok ini telah me-“nodai”
khazanah keberagamaan Islam di Indonesia yang telah ada sejak berabad-abad
silam. Namun, apa yang dilakukan kelompok Islamis ini secara kultural memang
telah mengancam kultur Islam Indonesia, atau lebih populer dengan “Islam
Nusantara”.
Istilah “Islam Nusantara” sendiri secara akademik bukan sesuatu gagasan
yang baru. Istilah ini baru populer belakangan ini, ketika identitas Islam di
Indonesia telah banyak mendapat problematika yang cukup serius. Azyumardi Azra
jauh sebelumnya, pada awal tahun 2000-an telah menggunakan istilah “Islam
Nusantara” melalui karya akademiknya.
Mengenai kelompok Islamis, penulis secara sederhana mengelompokkan menjadi
dua. Pertama, kelompok Islamis-radikal. Kelompok ini yang belakangan sering
menyebarkan teror, mulai teror kebencian terhadap sesama muslim, hingga yang
paling parah terjadinya kasus-kasus pengeboman diberbagai daerah di Tanah Air. Pemerintah
secara masif melakukan berbagai kebijakan konkrit untuk menyelesaikan kelompok
Islamis ini. Pemerintah secara tegas dalam masalah ini, serta mampu menjalankan
tugasnya secara baik dalam menghadapi kelompok radikal ini.
Kelompok Islamis-radikal yang berada di Indonesia sebenarnya sebagai imbas
dari konflik Timur Tengah yang tak pernah redam hingga sekarang. Beberapa penelitian
akademik justru mengatakan konflik disana bukan soal agama sebagai penyebabnya,
tetapi soal kekuasaan hingga sumber daya alam (SDA). Indonesia yang notabennya
memiliki kekayaan SDA yang luar biasa kaya. Maka, secara tidak langsung cukup logic
jika di Indonesia telah terjadi berbagai teror tersebut. Konon katanya,
kelompok ini cukup frustasi di Timur Tengah, hingga mereka berpindah ke Asia,
termasuk Indonesia untuk menyebarkan paham yang cukup radikal.
Kedua, kelompok Islamis-fanatis. Kelompok ini memang
secara akidah tidak bermasalah. Meskipun ada beberapa kelompok kecil yang
dianggap menyimpang karena secara akidah bertentangan. Namun, itu hanya
sebagian kecil saja. Mayoritas secara akidah sama, sebagai ketauhidannya. Yang menjadi
persoalan selanjutnya adalah kelompok fanatis ini secara kultural bertolak
belakang dengan identitas Islam di Indonesia.
Bahkan, secara fakta telah terjadi “Arabisasi” Islam di Indonesia. Dalam hal
ini, segala pernak-pernik atau atribut keagamaan semuanya serba Arab, mulai
dari jubah, cadar, dan lain sebagainya. Bukan itu saja, telah menjadikan bahasa
Arab sebagai bahasa yang sangat agamis, sehingga percakapan sehari-hari sok-sok
Arab. Arab sebagai tanah pertama Islam berkembang menjadikannya sebagai
alasan, bahwa jika ingin berislam secara kaffah (sempurna), maka
Islamnya harus seperti di Arab. Padahal menurut Sumanto Al-Qurtuby yang saat
ini sebagai Guru Besar Antropologi Agama di Arab Saudi malah menyatakan Islam
di Arab murni budaya bukan alasan agama yang menjadi Islam di Arab seperti itu.
Tulisan ini sebenarnya bentuk pengamatan penulis selama ini. Akan tetapi,
beberapa waktu lalu penulis mengunjungi Jakarta Islamic Centre (JIC),
di Jakarta Utara. Sebuah tempat yang menjadi sentral aktivitas keagamaan. Wong
namanya juga Islamic Centre. Hehehe
JIC sebenarnya bukan sekadar Masjid saja, tetapi lebih dari itu diharapkan
secara lebih jauh lagi dapat menjadi pusat peradaban di Asia Tenggara. Maka,
alasan inilah didirikan JIC. Tempat ini juga bukan sekadar pusat aktivitas
beribadah dan kegiataan keagamaan lain. Namun, juga telah menjadi tempat
rekreasi bagi keluarga untuk menghangatkan harmonisnya kehidupan keluarga. Disana
anggota keluarga dapat bercengkerama dengan mesra sebagai simbol menguatya
ikatan keluarga.
JIC juga telah menjadi tempat mencari nafkah bagi pedagang-pedagang
disekitar. Bahkan, didalam komplek dan disekitar JIC pedagang membuka lapaknya.
Yang terkadang menjadi alasan sedikit kemacetan disana. JIC memang cukup luas, sehingga
secara tidak langsung dapat memberikan pemandangan yang sejuk di pagi hari, terlebih
lagi di Jakarta sudah sangat sulit menemukan lahan kosong, karena sudah
terpenuhi dan dijejali dengan gedung-gedung pencakar langit.
Kebetulan pada saat penulis ke JIC, disana sedang diadakan sebuah kegiatan
keagamaan. Kegiatan ini cukup besar, karena memang pembicaranya saja dari luar,
yang menyampaikan materi dengan bahasa Arab. Ditambah lagi, pesertanya juga banyak,
hingga memenuhi ruang Masjid yang cukup luas.
Hanya saja kegiatan tersebut ternyata diadakan oleh kelompok
Islamis-fanatis. Yang membuat nuansa JIC menjadi sangat seperti Arab. Meskipun JIC
bukan di Arab, tetapi di Jakarta. Artinya, disana banyak Muslim yang berbusana “ala Arab”. Bahkan, bisa dikatakan
Muslim dengan atribut keagamaan pribumi sungguh sangat sedikit. Padahal kegiatan
tersebut dilaksanakan pada siang hari, tetapi nuansa ke-Arabannya sudah mulai
terasa sejak pagi hari.
Menjelang siang malah justru seperti kehidupan sosial di Arab. Bahkan,
beberapa pedagang didalam komplek JIC juga tak kalah saing. Berbusana “ala Arab”
dan juga menjual berbagai atribut ke-Araban. Pedagang “ala pribumi” malah
justru sedikit, itu pun hanya menjual makanan-makanan seperti pada umumnya. JIC
yang penulis lihat justru seperti Arab, bukan Indonesia.
Solidaritas mereka bisa dikatakan cukup solid dan kuat. Hal itu bisa
dilihat melalui partisipasi jamaahnya yang sangat banyak, hingga memenuhi ruang
Masjid JIC. Itu sebagai antusiasme mereka terhadap kelompoknya sendiri. Ditambah
lagi, isu yang diangkat pada kegiatan tersebut juga isu yang membahas persoalan
furu’iyah, yang sebenarnya tidak perlu dibahas dengan begitu meriahnya. Namun,
yang terpenting perlu adanya sikap toleransi terhadap hal itu. Jusrtu kelompok
yang seperti ini dalam beberapa kasus, enggan untuk bersikap saling menghargai.
Malah justru tak jarang saling mem-“bid’ah”-kan.
Sebagai Muslim yang hidup di negeri yang sangat majemuk ini memang perlu
untuk bersikap toleransi. Bahkan, itu sesuatu yang mau tidak mau harus
dilakukan sebagai sebuah kewajiban. Namun, bukan berarti tinggal di negeri yang
majemuk ini bisa dengan seenaknya membawa dan menyebar luaskan paham keagamaan
yang justru akan mengancam identitas Islam di Indonesia. Bukan itu saja, tetapi
akan mengancam pula sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab
itu, perlunya solidaritas dalam menjaga dan marawat Islam dan negara ini dengan
baik dan bijak sesuai dengan nilai-nilai yang telah tertanam jauh sebelum abad
ini.
Ahmad Zaki Muntafi
Jl. Legoso Raya