Kamis, 18 Agustus 2016

Qunut Versi Gambia (Afrika Barat)






Kehidupan beragama sejatinya sangat plural, termasuk di dalamnya berkaitan dengan pengamalan ritual peribadatan. Tidak hanya Islam, di dalam Kristen, Yahudi juga memiliki perbedaan akan ritual peribadatan mereka satu sama lain. 

Kebetulan saya tinggal di Mah’ad yang merupakan “Dormitory for International Student” (Asrama Mahasiswa Internasional). Di tempat ini saya mendapat berbagai pengetahuan tentang teman-teman yang berasal dari berbagai negara. Dalam hal ini, khususnya, berkaitan dengan ritual peribadatan di negara mereka.

Shubuh tadi, setelah melaksanakan zikir, salah seorang teman dari Gambia (yang merupakan negara di Afrika Barat), yakni Lamin, berdiri di hadapan yang lain untuk menjelaskan dan mempraktikkan pelaksanaan Qunut di negaranya.

Lamin menjelaskan bahwa Qunut di negaranya di laksanakan setelah membaca surat pada rakaat kedua dan tanpa bersuara, hanya di baca di dalam hati, serta tetap “sedakep” tangannya (tidak mengangkat tangan). Imam yang memimpin sholat juga membacanya di dalam hati. Hal ini berbeda dengan kita (bagi yang Qunut), di mana di baca setelah bacaan i’tidal pada rakaat kedua dengan suara keras yang di pimpin imam pada sholat berjamaah, serta dengan mengangkat tangan.

Wah, saya menjadi tertarik dengan hal ini, dan membuat saya lebih penasaran lagi tentang pelaksanaan Qunut di negara Gambia, karena Lamin tidak menjelaskan lebih lanjut.

Kemudian setelah selesai semua, dan tentunya “bubar” di akhiri dengan salam-salaman dengan iringan sholawat (tradisi kita, Islam Indonesia), saya mencoba bertanya dengan Abu Bakar (salah seorang mahasiswa Gambia yang lain) tentang bacaan Qunut yang di baca. Abu Bakar tidak hanya menjawab, tetapi langsung melafalkan Qunut yang ia baca. Ternyata bacaan Qunutnya juga berbeda dengan di Indonesia.

Abu Bakar melafalkan Qunut dengan bunyi: “Rabbana Atina Fiddunnya Khasanah........... Rabbana La Tuzih Qulu Bana......... Subhanaka Rabbika Rabbil Izzati Amma Yasifun.........” Itu merupakan bacaan Qunut di Gambia.

Kemudian saya makin penasaran, dan bertanya apakah bacaannya sama untuk setiap orang?, Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak tahu pasti untuk bacaan bagi semua orang di negaranya, bisa jadi malah ada perbedaan dalam bacaan, tetapi pada intinya bahwa pelaksanaan Qunut di negaranya di laksanakan setelah membaca surat pada rakaat kedua dan tanpa bersuara, baik imam ataupun jamaahnya.

Lebih lanjut lagi, Abu Bakar menjelaskan bahwa di negaranya mengikuti Imam Malik, atau bermazhab Maliki. Berbeda dengan kita, yang mayoritas bermazhab Syafi’i.

Meskipun pelaksanaan Qunut berbeda, hal itu tidak membuat perselisihan apalagi saling menyalahkan, tetapi malah membuat teman-teman semakin terbuka dan toleran. Misal, sholat shubuh yang menjadi imam adalah teman dari Indonesia, maka teman-teman dari Gambia selaku makmum juga ikut melaksanakan Qunut versi Indonesia, serta sebaliknya.

Sebagai umat Muslim sudah seharusnya kita menghormati dan menghargai perbedaan di dalam Islam, bukan saling menyalahkan apalagi “mengkafirkan”, karena sejatinya umat Muslim adalah saudara bagi yang lainnya. Maka, di perlukan sikap yang toleran terhadap satu sama lain.


 Ahmad Zaki Muntafi
Ciputat, Jl. Legoso Raya

Selasa, 02 Agustus 2016

Komodifikasi Agama : Sebuah Fenomena Keagamaan



Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat simbolisasi corak keagamaan yang baru. Bahkan, bisa dibilang sebagai perubahan nilai dan budaya yang ada, tentunya yang berkaitan dengan agama. Berbagai diskursus juga mengkaji akan itu semua, serta terkena imbasnya pula.

Hal itu merupakan sebuah fenomena baru, yang membuat saya tergelitik, dikarenakan arus perubahan nilai dan budaya menjadi sebuah kepentingan. Ya, namanya hidup kan penuh kepentingan. Tidak cuma politik ataupun ekonomi, semua aspek kehidupan mengandung unsur kepentingan.

Salah satu fenomena tersebut saya katakan sebagai sebuah komodifikasi agama. Mengenai makna komodifikasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komodifikasi memiliki arti pengubahan sesuatu menjadi komoditas (barang dagangan) yang dapat diperjual belikan.

Maka, dengan melihat makna tersebut, sudah menjadikan isyarat bahwa agama dijadikan sebuah komoditas untuk dapat diperjual belikan atau diperdagangkan.

Apa yang diperjualkan belikan dari agama ?

Setelah saya cermati, ada dua hal yang menjadi komoditas dalam agama.

Pertama, berkembangnya bisnis material yang berbasis keagamaan. Bisnis ini mencakup segala atribut dalam ritual ibadah, misal : baju muslim, atau yang lagi tren sekarang adalah jilbab. Bahkan, konon bisnis jilbab bisa meraup keuntungan yang sangat besar. Apakah anda tertarik ? hehehe (bercanda).

Melihat dari kemanfaatan, maka bisnis tersebut sangat bermanfaat. Tidak hanya bagi penjual atau produsen, tetapi juga bagi konsumen. Maka, bisa dikatakan komodifikasi ini memberikan dampak positif. Namun, tetap harus melihat aturan agama dalam aktivitasnya,
Kedua, berkembanganya bisnis non-material yang berbasis keagamaan. Ajaran agama dijadikan sebagai ladang bisnis. Berbagai ayat dan hadits dijadikan sebagai modal dalam bisnis ini atau ada yang mengatakan dengan istilah “menjual ayat”.

Jika dilihat dari tujuan, yakni mendapatkan uang. Maka, sudah jelas membisniskan ajaran Islam merupakan sesuatu yang keliru. Ditambah lagi, para aktornya tidak cukup berkompeten. Kajian keagamaan yang dimilikinya sangat terbatas. Hal ini tentunya akan memperparah masa depan umat, sehingga sangat menimbulkan dampak negatif yang besar.

Semoga, saya, anda, dan kita semua mampu mengambil hikmah dari setiap perubahan nilai dan budaya yang ada, yakni dengan melihat melalui kaca mata agama, sehingga tidak salah dalam pemikiran dan perbuatan.

Ahmad Zaki Muntafi
Ciputat, Kamar Ma’had 114 

About

Powered By Blogger

Cari Blog Ini

About

Harapan : Masa Depan yang Cerah