Kehidupan
beragama sejatinya sangat plural, termasuk di dalamnya berkaitan dengan
pengamalan ritual peribadatan. Tidak hanya Islam, di dalam Kristen, Yahudi juga
memiliki perbedaan akan ritual peribadatan mereka satu sama lain.
Kebetulan
saya tinggal di Mah’ad yang merupakan “Dormitory for International Student”
(Asrama Mahasiswa Internasional). Di tempat ini saya mendapat berbagai
pengetahuan tentang teman-teman yang berasal dari berbagai negara. Dalam hal
ini, khususnya, berkaitan dengan ritual peribadatan di negara mereka.
Shubuh tadi,
setelah melaksanakan zikir, salah seorang teman dari Gambia (yang merupakan
negara di Afrika Barat), yakni Lamin, berdiri di hadapan yang lain untuk
menjelaskan dan mempraktikkan pelaksanaan Qunut di negaranya.
Lamin menjelaskan
bahwa Qunut di negaranya di laksanakan setelah membaca surat pada rakaat kedua dan
tanpa bersuara, hanya di baca di dalam hati, serta tetap “sedakep” tangannya (tidak
mengangkat tangan). Imam yang memimpin sholat juga membacanya di dalam hati. Hal
ini berbeda dengan kita (bagi yang Qunut), di mana di baca setelah bacaan i’tidal
pada rakaat kedua dengan suara keras yang di pimpin imam pada sholat
berjamaah, serta dengan mengangkat tangan.
Wah,
saya menjadi tertarik dengan hal ini, dan membuat saya lebih penasaran lagi
tentang pelaksanaan Qunut di negara Gambia, karena Lamin tidak menjelaskan
lebih lanjut.
Kemudian setelah selesai semua, dan tentunya “bubar” di akhiri dengan salam-salaman dengan iringan sholawat (tradisi kita, Islam Indonesia), saya mencoba bertanya dengan Abu Bakar (salah seorang mahasiswa Gambia yang lain) tentang bacaan Qunut yang di baca. Abu Bakar tidak hanya menjawab, tetapi langsung melafalkan Qunut yang ia baca. Ternyata bacaan Qunutnya juga berbeda dengan di Indonesia.
Abu
Bakar melafalkan Qunut dengan bunyi: “Rabbana Atina Fiddunnya Khasanah...........
Rabbana La Tuzih Qulu Bana......... Subhanaka Rabbika Rabbil Izzati Amma
Yasifun.........” Itu merupakan bacaan Qunut di Gambia.
Kemudian
saya makin penasaran, dan bertanya apakah bacaannya sama untuk setiap orang?,
Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak tahu pasti untuk bacaan bagi semua orang di
negaranya, bisa jadi malah ada perbedaan dalam bacaan, tetapi pada intinya
bahwa pelaksanaan Qunut di negaranya di laksanakan setelah membaca surat pada
rakaat kedua dan tanpa bersuara, baik imam ataupun jamaahnya.
Lebih
lanjut lagi, Abu Bakar menjelaskan bahwa di negaranya mengikuti Imam Malik,
atau bermazhab Maliki. Berbeda dengan kita, yang mayoritas bermazhab Syafi’i.
Meskipun
pelaksanaan Qunut berbeda, hal itu tidak membuat perselisihan apalagi saling
menyalahkan, tetapi malah membuat teman-teman semakin terbuka dan toleran. Misal,
sholat shubuh yang menjadi imam adalah teman dari Indonesia, maka teman-teman
dari Gambia selaku makmum juga ikut melaksanakan Qunut versi Indonesia, serta
sebaliknya.
Sebagai umat
Muslim sudah seharusnya kita menghormati dan menghargai perbedaan di dalam
Islam, bukan saling menyalahkan apalagi “mengkafirkan”, karena sejatinya umat
Muslim adalah saudara bagi yang lainnya. Maka, di perlukan sikap yang toleran
terhadap satu sama lain.
Ahmad Zaki Muntafi
Ciputat, Jl. Legoso Raya
Sebagai muslim kita harus mengikuti rasul kita. Kalau ada perbedaan sdh diberikan petunjuk utk kembali ke qur'an & hadist. Bukan hanya cukup menghargai perbedaan trs selesai sampai di situ tanpa berusaha utk mencari bagaimana yg di lakukan rasul yg sesungguhnya..
BalasHapus