Banyak Muslim yang saat ini telah mengklaim bahwa pakaiannyalah yang paling
benar, paling syar’i (Islami), atau bahkan sesuai dengan yang dipakai Kanjeng
Nabi Saw., pakaian yang “begini, bukan begitu”. Yang timbul kemudian justru
mereka mulai menyatakan ketidaksepahamannya dengan pakaian Muslim yang lain,
sehingga terkadang berujung pada menyalahkan. Disinilah muncul pemahaman
konservatif yang justru merugikan Muslim yang lain. Hal ini juga yang mengancam
keberagaman dalam beragama dan keutuhan Islam.
Secara eksplisit, Alquran dan Hadits tidak menjelaskan secara detail
bagaimana pakaian yang seharusnya. Akan tetapi, bukan berarti terlepas dari
esensi yang ada didalamnya. Meskipun Alquran dan Hadits tidak menjelaskan
secara eksplisit, masih terdapat pendapat ulama yang dapat digunakan sebagai
rujukan, sehingga pemahaman mengenai ayat dan hadits tentang pakaian tidak
monolitik secara personal.
Isu-isu “Arabisasi” yang berkembang belakangan di negera ini juga membuktikan
bahwa adanya arus migrasi budaya Arab, termasuk didalamnya persoalan pakaian. Banyak
kelompok Muslim di Indonesia yang menurut pemahamannya menjadikan pakaian Arab
sebagai identitas utama kemuslimannya, bukan pakaian yang telah ada di
Indonesia sebagai identitas keindonesiaan.
Mengutip dari Kang Sumanto Al-Qurtuby yang membahas tentang Islam Arab, menurutnya dari hasil observasi di Arab Saudi menunjukkan bahwa masyarakat Arab saat ini telah banyak meninggalkan budaya pakaian yang telah berkembang sejak dulu. Mereka lebih banyak menggunakan pakaian “Ala Barat” untuk saat ini, atau istilahnya, pakaiannya lebih sekuler.
Bukan itu saja, dari observasi kecil-kecilan yang dilakukan oleh Kang Sumanto
Al-Qurtuby kepada mahasiswa Arab didalam kelasnya, di mana mahasiswanya terdiri
dari berbagai suku di Arab, yang cenderung berbeda paham keagamaan pula. Hasilnya
menunjukkan bahwa mahasiswa Arab menunjukkan sikap yang heran dan bingung
kenapa mayoritas masyarakat Asia, termasuk Indonesia, lebih suka pakaian mereka
(pakaian Arab), padahal pakaian yang mereka gunakan merupakan budaya. Bukan heran
dan bingung saja, tetapi tertawa melihat realitas pakaian Arab yang berkembang
dan menjadi tren di Asia, termasuk Indonesia.
Untuk menjawab isu-isu tentang pakaian, menurut Ali Jum’ah dalam bukunya: “Al-Mutasyaddidun: Manhajum… wa Munaqasyad
Ahamm Qadhayahum,” telah
menjelaskan bahwa seharusnya pakaian yang digunakan oleh kaum Muslim adalah
pakaian yang sesuai dengan lingkungannya atau budaya setempat.
Terdapat sebuah
riwayat, Imam
Ahmad bin Hanbal yang melihat
seseorang menggunakan pakaian yang bergaris
putih dan hitam,
maka beliau
berkata, “Tinggalkan
pakaian ini dan ganti dengan pakaian warga daerahmu. Ini
bukan dikerenakan haram. Akan tetapi, seandainya engkau sedang berada di Mekkah ataupun Madinah, maka aku tidak akan
mempermasalahkannya.”
Jika pakaian yang digunakan berbeda dengan budaya setempat, maka akan
cenderung menimbulkan perhatian masyarakat lain. Hal ini disebut sebagai “syuhrah”,
padahal pakaian yang menimbulkan perhatian banyak orang tidak diperkenankan
oleh agama.
Kanjeng Nabi Saw. juga telah memberikan petunjuk bahwa sebaiknya dalam
berpakaian menggunakan pakaian yang mudah untuk didapatkan, serta sesuai dengan
budaya setempat, sehingga tidak dianggap bertentangan oleh masyarakat setempat,
serta tidak menimbulkan perhatian. Akan tetapi, pakaian budaya setempat pun
tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Mengenai pakaian budaya,
sejatinya hingga saat ini mayoritas pakaian yang telah membudaya di Indonesia
tidak bertentangan dengan esensial Islam.
Sebagai seorang Muslim yang tidak bisa melepaskan diri dari kebutuhan
primer dalam berpakaian, sudah seharusnya menggunakan pakaian yang mudah
didapat, serta sesuai dengan daerah setempat. Karena kebenaran pakaian Islami
itu bukan bersifat absolut, tetapi relatif. Pakaian budaya setempat menunjukkan
relativisme pakaian dalam Islam. Oleh sebab itu, tetaplah menjadi Islam
Indonesia, yang tetap berpakaian “Ala Indonesia” sebagai budaya agama di negara
ini.
Jl. Legoso Raya, Ciputat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar