Jumat, 21 Juli 2017

Agama sebagai Opini Terbuka





Carut marut persoalan agama belakangan ini membuat pikiran dan hati geram. Pasalnya tidak sedikit diantara Muslim yang dengan segala pemikirannya mencoba merusmuskan dan mengkonsep gagasan baru sebagai teoligisasi kompleksitas persoalan sekarang. Hanya saja terdapat persoalan yang penting yang justru hadir disela-sela persoalan agama yang ada.

Doktrin agama yang sebelumnya ada terus mengalami perumusan kembali konsep teologis yang sebenarnya ada didalamnya. Aplikasi ini akan menjadi inheren dengan realitas sosial jika memang sebagai bentuk pemecahan persoalan yang ada. Namun, bukan sekadar perumusan yang cukup progresif. Akan tetapi, terdapat juga perumusan konsep teologis yang terkadang cenderung menjadikan agama mengalami pergeseran makna dari yang sebenarnya. 

Hal ini bisa dilihat pada fakta sosial yang ada. Misal, berbagai kalangan Muslim berbondong-bondong untuk melakukan ijtihad keagamaan sebagai respon realitas sosial. Sayanganya upaya ijtihad ini tidak hanya dilakukan Muslim profesional dan kompeten, tetapi justru dilakukan pula Muslim yang baru saja belajar tentang Islam dan seluk-beluknya. Padahal untuk memahami konsep Islam sebagai agama membutuhkan proses belajar yang tidak sebentar, serta membutuhkan sosok panutan (guru) yang tepat pula.

Agama bukanlah sesuatu yang mutlak dalam realitas sosial. Karena agama dianggap akan mampu mengondisikan dirinya dengan realitas. Namun, sebagai makhluk berTuhan, maka agama akan tetap bersifat absolut. Hanya saja doktrin dalam agama tidak melulu bersifat absolut (qath’i), tetapi masih terdapat konsepsi agama yang bersifat relatif, sehingga perlu reinterpretasi ulang atas hal itu.

Doktrin agama yang bersifat relatif yang kemudian melahirkan adanya gagasan tentang liberalisme, sekuliralisme, serta lain sebagainya, di mana paham tersebut lahir atas pemahaman teks-teks agama yang dianggap membutuhkan reinterpretasi kembali. Namun, bukan itu saja, terdapat pula proses persinggungan kehidupan sosial yang menjadi penyulut adanya reinterpretasi tersebut.

J. Salwyn Schapiro (1958) menjelaskan bahwa kaum liberal menganggap agama sebagai opini yang terbuka, di mana menurutnya kaum liberal mendukung kebebasan untuk tidak beriman, sebagaimana kebebasan untuk beriman. Memang gagasan itu cukup ekstrim dalam konteks sosial saat ini. Hanya saja, Schapiro mencoba menguak bagaimana kaum liberal mengonsep kembali dalam hal teologis. 

Konsep agama sebagai opini terbuka memang bukan sesuatu yang baru. Hanya saja secara tidak langsung telah kita alami dan saksikan pula dalam kehidupan beragama. Hal ini yang mendorong gagasan-gagasan tentang konsep agama perlu dikembangkan agar sesuai dengan realitas yang ada, tanpa harus menjadikan agama mengalami pergerseran makna. Bukan malah sebaliknya, menjadikan agama kehilangan jati dirinya.



Ahmad Zaki Muntafi
Jl, Legoso Raya, Ciputat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Powered By Blogger

Cari Blog Ini

About

Harapan : Masa Depan yang Cerah